Pola Bermadzhab Dan Taqlid
Pola pemahaman ajaran islam melalui ijtihad para mujtahid lazim disebut madzhab. Madzhab berarti jalan pikiran dan jalan pemahaman atau pola pemahaman. Pola pemahaman dengan metode, prosedur dan produk. Ijtihad itu juga diikuti oleh umat islam yang tidak mampu ijtihad sendiri karena keteratasan ilmu dan syarat-syarat yang dimiliki. Mereka lazim disebut bermadzhab atau menggunakan madzhab (Muchtar, 2007: 20-21).
Dengan sistem bermadzhab ini, ajaran islam dapat terus dikembangkan, disebarluaskan dan diamalkan dengan mudah kepada semua lapisan dan tingkatan umat islam. Melalui sistem ini pola pewarisan dan pengamalan ajaran islam terpelihara kelurusan dan terjamin kemurniannya. Itu karena ajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadits dipahami, ditafsiri, dan diamalkan dengan pola pemahaman dan metode ijtihad yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.
Madzhab secara etimologis ialah jalan, aliran, pendapat, ajaran atau doktrin. Dalam kajian islam pengertian madzhab ialah metode memahami ajaran-ajaran islam. Sedangkan bermadzhab pada dasarnya ialah mengikuti ajaran atau pendapat imam mujtahid yang diyakini mempunyai kompetensi ( kwenangan / kemampuan ) berijtihad (Hasan, 2007: 76).
Sedangkan definisi lain diberikan oleh Dr. Sa’id Ramadhan Al-Buthi, menurutnya bermadzhab ialah mengikutinya orang awam atau orang-orang yang tidak mencapai kemampuan ijtihad, karena pendapat atau ajaran seorang imam mujtahid, baik dia itu mengikuti seorang mujtahid tertentu secara tetap, atau dalam hidupnya dia berpindah dari seorang mujtahid ke mujtahid yang lainnya.
Dengan sistem bermadzhab ini, ajaran islam dapat terus dikembangkan, disebarluaskan dan diamalkan dengan mudah kepada semua lapisan dan tingkatan umat islam. Melalui sistem ini pola pewarisan dan pengamalan ajaran islam terpelihara kelurusan dan terjamin kemurniannya. Itu karena ajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadits dipahami, ditafsiri, dan diamalkan dengan pola pemahaman dan metode ijtihad yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.
A. Pengertian Madzhab (bermadzhab) Dan Taqlid
1. Madzhab (bermadzhab)
Madzhab secara etimologis ialah jalan, aliran, pendapat, ajaran atau doktrin. Dalam kajian islam pengertian madzhab ialah metode memahami ajaran-ajaran islam. Sedangkan bermadzhab pada dasarnya ialah mengikuti ajaran atau pendapat imam mujtahid yang diyakini mempunyai kompetensi ( kwenangan / kemampuan ) berijtihad (Hasan, 2007: 76).
Sedangkan definisi lain diberikan oleh Dr. Sa’id Ramadhan Al-Buthi, menurutnya bermadzhab ialah mengikutinya orang awam atau orang-orang yang tidak mencapai kemampuan ijtihad, karena pendapat atau ajaran seorang imam mujtahid, baik dia itu mengikuti seorang mujtahid tertentu secara tetap, atau dalam hidupnya dia berpindah dari seorang mujtahid ke mujtahid yang lainnya.
Dan yang disebut Tidak Bermadzhab ialah tidak mengikutinya orang awam atau orang-orang yang tidak mencapai kemampuan ijtihad, kepada mujtahid manapun, baik secara tetap maupun tidak tetap (Hasan, 2007: 77).
Kemudian berbicara tentang Taqlid, para ulama’ ushul fiqih mendefinisikan Taqlid sebagai upaya mengikuti pendapat / fatwa orang lain tanpa mengetahui atau menelusuri dalil (suatu petunjuk untuk dijadikan dasar dalam menjalankan sesuatu) yang mendasarinya (Muhibbul & Baihaqy, 2007: 17). Jika mengikuti pendapat orang lain dengan menelusuri dalil-dalilnya, alasannya atau landasnnya maka dinamakan Itba’ atau Ittiba’.
Seorang mujtahid harus memeras fikiran dan mencurahkan seluruh waktunya untuk meneliti secara mendalam terhadap dalil-dalil fiqh, sehingga bisa menghasilkan dugaan hukum. Secara detail, sebagian ulama ushul fiqh menetapkan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid,ialah menguasai bahasa arab, menguasai Al-Quran (termasuk Ilmu Tafsir) dan Sunnah, mengetahui ijma’ terhadap persoalan-persoalan hukum, menguasai ilmu ushul, memahami maqosid as-syariah (tujuan-tujuan Syara’) secara utuh, memahami secara baik ikhtilaf dikalangan ahli fiqh (Aceng, 2007: 49).
Dalam referensi ushul fiqh, bahwa tidak semua mujtahid itu melahirkan mazhab yang mandiri, tetapi sebagian besar mereka tetap mengakui sebagai pengikut Imam mazhab tertentu. Seperti imam Nawawi, Imam Al-Muzani, Iman Ghazali, Imam Al-Haromain meskipun sering melakukan ijtihad yang sering kali berbeda pendapat dengan imamnya (Imam Syafi’i) dalam beberapa masalah, tetapi tetap menyatakan diri sebagai bermadzhab Syafi’i (Hasan, 2007: 85). Oleh karena kenyataan yang demikian, ulama’ ushul fiqh membagi tingkatan-tingkatan mujtahid kedalam beberapa jenjang.
Selanjutnya berkaitan dengan tingkatan mujtahid, al-Ghazali dan Ibu hammam Dalam Aceng (2007: 49-51) membagi tingkatan mujtahid menjadi dua, yaitu:
Termasuk diantara persyaratan orang yang taqlid adalah ia bukan orang yang ‘alim sebagaimana kealiman seorang mujtahid. Bagi orang-orang yang tidak memenuhi syarat-syarat ijtihad seperti diatas maka wajib baginya untuk berpegang teguh pada pendapatnya mujtahid. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Alloh:
Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui (An-Nahl: 43)
Melihat mafhum dari ayat diatas, berarti bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk berijtihad, tidak diperbolehkan taqlid atau mengikuti pendapatnya mujtahid lain. Seperti Imam Syafii tidak boleh taqlid kepada Imam Malik atau sebaliknya.
Hadrotus Syeh Hasyim Asy’ari dalam Muktamar NU ke IV Th 1929 disemarang menyampaiakan:
Menurut Ahmad Zahro pendekatan bermazhab menggunakan tiga macam metode penggalian hukum yang diterapkan secara berjenjang (Zahro, 2004: 118-124), yaitu sebagai berikut:
Metode Qauly (tekstual); yaitu dengan merujuk langsung pada teks pendapat imam mazhab empat atau pendapat ulama pengikutnya (Masyhuri, 1997: 356).
Secara historis, mazhab dalam islam dapat di identifikasi menjadi dua kelompok besar, yaitu ahl Al-ra’y dan ahl al-Hadits, atau biasa dikenal dengan faksi hijaz dan faksi kufah. Faksi pertama, diwakili oleh imam Abu Hanifah, seorang faqih dan ulama’ yang yang lebih banyak menggunakan porsi ra’yu atau paling tidak lebih rasional dalam dalam pemikiran ijtihadnya.
2. Taqlid
Kemudian berbicara tentang Taqlid, para ulama’ ushul fiqih mendefinisikan Taqlid sebagai upaya mengikuti pendapat / fatwa orang lain tanpa mengetahui atau menelusuri dalil (suatu petunjuk untuk dijadikan dasar dalam menjalankan sesuatu) yang mendasarinya (Muhibbul & Baihaqy, 2007: 17). Jika mengikuti pendapat orang lain dengan menelusuri dalil-dalilnya, alasannya atau landasnnya maka dinamakan Itba’ atau Ittiba’.
B. Syarat-syarat dan Tingkatan Mujtahid
Seorang mujtahid harus memeras fikiran dan mencurahkan seluruh waktunya untuk meneliti secara mendalam terhadap dalil-dalil fiqh, sehingga bisa menghasilkan dugaan hukum. Secara detail, sebagian ulama ushul fiqh menetapkan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid,ialah menguasai bahasa arab, menguasai Al-Quran (termasuk Ilmu Tafsir) dan Sunnah, mengetahui ijma’ terhadap persoalan-persoalan hukum, menguasai ilmu ushul, memahami maqosid as-syariah (tujuan-tujuan Syara’) secara utuh, memahami secara baik ikhtilaf dikalangan ahli fiqh (Aceng, 2007: 49).
Dalam referensi ushul fiqh, bahwa tidak semua mujtahid itu melahirkan mazhab yang mandiri, tetapi sebagian besar mereka tetap mengakui sebagai pengikut Imam mazhab tertentu. Seperti imam Nawawi, Imam Al-Muzani, Iman Ghazali, Imam Al-Haromain meskipun sering melakukan ijtihad yang sering kali berbeda pendapat dengan imamnya (Imam Syafi’i) dalam beberapa masalah, tetapi tetap menyatakan diri sebagai bermadzhab Syafi’i (Hasan, 2007: 85). Oleh karena kenyataan yang demikian, ulama’ ushul fiqh membagi tingkatan-tingkatan mujtahid kedalam beberapa jenjang.
Selanjutnya berkaitan dengan tingkatan mujtahid, al-Ghazali dan Ibu hammam Dalam Aceng (2007: 49-51) membagi tingkatan mujtahid menjadi dua, yaitu:
- Mujtahid mutlak, yaitu seseorang yang sudah memenuhi semua syarat-syarat yang ditetapkan.
- Mujtahid al-Muntashib, yaitu mujtahid yang hanya berijtihad dalam bidang-bindang tertentu saja.
- Mujtahid Mutlak, yaitu seseorang yang mempunyai metode lengkap dalam berijtihad seakan-akan Imam Muhammad Bin Idris As-Syafi’i, Imam Ahmad Bin Hambal, Imam Abu Hanifah Dan Imam Malik bin Anas.
- Mujtahid Madzhab, yakni orang yang mempunyai kemampuan mengetahui kaidah-kaidah imam Madzhab, kemudian ia sanggup menggali pendapat yang melebihi pendapat imamnya, dari sebuah dalil. Seperti: Imam Muzani, Imam Buwaithi, dan lain-lain.
- Mujtahid Fatwa, yakni orang yang sangat mendalam pengetahuannya tentang madzhab imamnya sehingga bisa mentarjih salah satu diantara dua qoul, ketik dua qoul tersebut dimutlakkan oleh seorang imam. Seperti Imam Ar-Rofi’I dan Imam An-Nawawi, Ibnu Hajar dan Ar-Romli (Versi Kitab Tanwir Al-Qulub) (Muhibbul & Baihaqy, 2007: 16).
C. Syarat-syarat Dan Ketentuan Taqlid
Termasuk diantara persyaratan orang yang taqlid adalah ia bukan orang yang ‘alim sebagaimana kealiman seorang mujtahid. Bagi orang-orang yang tidak memenuhi syarat-syarat ijtihad seperti diatas maka wajib baginya untuk berpegang teguh pada pendapatnya mujtahid. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Alloh:
Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui (An-Nahl: 43)
Melihat mafhum dari ayat diatas, berarti bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk berijtihad, tidak diperbolehkan taqlid atau mengikuti pendapatnya mujtahid lain. Seperti Imam Syafii tidak boleh taqlid kepada Imam Malik atau sebaliknya.
D. Mengapa Harus Bermadzhab Dan Kenapa Harus Empat Madzhab?
Hadrotus Syeh Hasyim Asy’ari dalam Muktamar NU ke IV Th 1929 disemarang menyampaiakan:
“ketahuilah! Bahwa bersama-sama mengikuti salah satu dari empat madzhab (hanafi, maliki, Syafi’I, dan hanbali) mengandung kemaslahatan yang besar dan meninggalkan seluruhnya membawa resiko kerusakan yang fatal”.
Alasan menentukan kenapa empat madzhab saja Menurut Muchtar (2007, 24-25) dapat dijabarkan sebagai berikut:
- Keempat madzhab tersebut merupakan Imam Mujtahid Mutlak Mustaqil, yaitu imam Mujtahid yang bisa berfikir secara mandiri menciptakan Manhaj al-Fikr, pola, metode, proses dan prosedur istinbath dengan seluruh perangkat yang diperlukan.
- Para Imam Madzhab itu mempunyai murid yang secara konsisten mengajar dan berbagi madzhabnya yang didukung oleh buku induk yang masih terjamin keasliannya hingga ketika ini.
- Ternyata para imam Madzhab ini mempunyai mata rantai dan jaringan intelektual diantara mereka.
- Keempat imam madzhab terebut mempunyai sikap tawadlu’ dan saling menghormati.
E. Pola-Pola Bermadzhab
Menurut Ahmad Zahro pendekatan bermazhab menggunakan tiga macam metode penggalian hukum yang diterapkan secara berjenjang (Zahro, 2004: 118-124), yaitu sebagai berikut:
Metode Qauly (tekstual); yaitu dengan merujuk langsung pada teks pendapat imam mazhab empat atau pendapat ulama pengikutnya (Masyhuri, 1997: 356).
- Metode Ilhaqi; yaitu menyamakan hukum suatu kasus yang belum ada ketentuan hukumnya dengan kasus yang telah ada hukumnya dalam kitab-kitab fikih.
- Metode manhajiy (Bermadzhab Secara Manhajiy / Metodologis);Yaitu menyelesaikan masalah hukum dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan aturan yang telah disusun oleh imam mazhab. Prosedur operasional metode manhajiyadalah dengan mempraktekkan qawaid ushuliyyah (kaidah-kaidah ushul fiqh) dan qawaid fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqh).
Sementara faksi kedua diwakili oleh imam Malik bin Anas ibn Amr, seorang faqih dan ulama’ yang lebih banyak menggunakan hadits dan tradisi masyarakat Madinah sebagai referensi dalam pemikiran ijtihadnya. Sedangkan imam Syafi’I dikenal sintesa antara dua faksi ini, walaupun cenderung kepada ahl al-Hadits, dan imam Ahmad bin Hambali juga masuk dalam faksi ahl al-hadits karena ia orang muhadditsin, disamping juga sebagai mujtahid mustaqil, namun pola istinbatnya lebih dekat kepada metodologi gurunya, Imam Syafi’i (Aceng, 2007: 43).
Dalam konteks bermadzhab, terlihat bahwa eksistensi mazhab hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali memiliki basis yang kuat dalam komunitas masyarakat islam, para pengikut dan murid mazhab-mazhab tersebut mengembangkannya sehingga konstruksi tersebut semakin mengakar.
Pluralime mazhab dalam kehidupan masyarakat global kini sulit dihindari, lantaran terjadinya perubahan-perubahan gres bukan hanya dalam interaksi sosial (seolah-olah korelasi kerja, kontrak-kontrak bisnis, sistem poltik dan pemerintahan) tetapi juga penemuan baru dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta informasi, yang tidak atau belum ditemukan hukumnya dalam kitab-kitab fiqh mazhab yang ada, atau ada disebagian kitab mazhab tetapi tidak ada dikitab mazhab yang lainnya.
Dalam konteks bermadzhab, terlihat bahwa eksistensi mazhab hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali memiliki basis yang kuat dalam komunitas masyarakat islam, para pengikut dan murid mazhab-mazhab tersebut mengembangkannya sehingga konstruksi tersebut semakin mengakar.
F. Pluralisme Madzhab
Pluralime mazhab dalam kehidupan masyarakat global kini sulit dihindari, lantaran terjadinya perubahan-perubahan gres bukan hanya dalam interaksi sosial (seolah-olah korelasi kerja, kontrak-kontrak bisnis, sistem poltik dan pemerintahan) tetapi juga penemuan baru dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta informasi, yang tidak atau belum ditemukan hukumnya dalam kitab-kitab fiqh mazhab yang ada, atau ada disebagian kitab mazhab tetapi tidak ada dikitab mazhab yang lainnya.
Disinilah pentingnya peran fiqh dalam memberikan solusi / pemecahan masalah. Tapi masih banyak diantara kita yang memandang fiqh sebagai sesuatu yang sangat dogmatik, gara-gara cara bermazhab yang terpaku pada mazhab qouli dan tidak disertai dengan pemahaman tentang madzhab manhaji (Masalah ini pernah disampaikan oleh beliau Tholhah Hasan dalam forum halqoh Masa’il Diniyah di Pondok pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang. Lihat Tholhah Hasan. 2007:: 84).
Mayoritas ulama’ mazhab, menyerupai Imam Rafi’I, Ibnu Hajib, Al-Amidi, Kamal Hamam dan lain-lain menyetujui pendapat yang menyetujui orang awam yang tidak bisa berujtihad mengikuti pendapat atau fatwa iman mazhab secara tidak tetap dalam banyak sekali masalah.
Mayoritas ulama’ mazhab, menyerupai Imam Rafi’I, Ibnu Hajib, Al-Amidi, Kamal Hamam dan lain-lain menyetujui pendapat yang menyetujui orang awam yang tidak bisa berujtihad mengikuti pendapat atau fatwa iman mazhab secara tidak tetap dalam banyak sekali masalah.
Dengan pendapat tersebut seseorang berarti dapt mengiktui mazhab tertentu (mazhab Syafi’I dan hanbali seumpamanya) tetapi dalam masalah tertentu dia mengikuti mazhab lain. Namun dirinya tetap menyatakan dirinya bermazhab Syafi’I atau Hanbali.
Rekonstruksi atau reconstruction berarti sebuah usaha atau proses pembangunan kembali, penyusunan atau perangkaian kembali.
Dewasa ini fiqh Islam dianggap mandul karena peran kerangka teoritik ilmu ushul fiqh dirasa kurang relevan lagi untuk menjawab problem kontemporer. Oleh karenanya, muncul banyak tawaran metodologi baru dari para pakar Islam kontemporer dalam usaha menggali hukum Islam dari sumber aslinya untuk disesuaikan dengan dinamika kemajuan zaman.
Metode manhajiy merupakan suatu perkembangan yang ideal lantaran konsekuensi penggunaan metode ini yakni harus mengacu pada metode penggalian aturan mazhab empat secara komprehensif dengan memperhatikan ragam dan hirarkinya, (Metode dan hirarki penggunaan sumber hukum Islam menurut mazhab Hanafi adalah: al-Qur’an, al-Hadis ash-Shahihah, Aqwal ash-Shahabah, Qiyas, al-Istihsan, Ijma’ Mazhab Maliki: al-Qur’an, al-Hadis ash-Shahih, Ijma’ ash-Shahabah, ‘Amal Ahl Madinah, Fatwa ash-Shahabah, Qiyas, Istihsan, al-Mashalih al-Mursalah, dam az-Zara’i. Mazhab Syafi’i: al-Qur’an, al-Hadis ash-Shahih, Ijma’, Aqwal ash-Shahabah, dan Qiyas. Mazhab Hanbali: Nash, Ijma’, Qiyas, al-Mashalih al-Mursalah, al-Istihsan, az-Zara’i, Fatwa ash-Shahabah, dan al-Istishhab. (Lihat Ahmad Zahro, 2007:130-134)
G. Rekontruksi Metode Bermazhab Secara Manhajiy
Rekonstruksi atau reconstruction berarti sebuah usaha atau proses pembangunan kembali, penyusunan atau perangkaian kembali.
Dewasa ini fiqh Islam dianggap mandul karena peran kerangka teoritik ilmu ushul fiqh dirasa kurang relevan lagi untuk menjawab problem kontemporer. Oleh karenanya, muncul banyak tawaran metodologi baru dari para pakar Islam kontemporer dalam usaha menggali hukum Islam dari sumber aslinya untuk disesuaikan dengan dinamika kemajuan zaman.
Metode manhajiy merupakan suatu perkembangan yang ideal lantaran konsekuensi penggunaan metode ini yakni harus mengacu pada metode penggalian aturan mazhab empat secara komprehensif dengan memperhatikan ragam dan hirarkinya, (Metode dan hirarki penggunaan sumber hukum Islam menurut mazhab Hanafi adalah: al-Qur’an, al-Hadis ash-Shahihah, Aqwal ash-Shahabah, Qiyas, al-Istihsan, Ijma’ Mazhab Maliki: al-Qur’an, al-Hadis ash-Shahih, Ijma’ ash-Shahabah, ‘Amal Ahl Madinah, Fatwa ash-Shahabah, Qiyas, Istihsan, al-Mashalih al-Mursalah, dam az-Zara’i. Mazhab Syafi’i: al-Qur’an, al-Hadis ash-Shahih, Ijma’, Aqwal ash-Shahabah, dan Qiyas. Mazhab Hanbali: Nash, Ijma’, Qiyas, al-Mashalih al-Mursalah, al-Istihsan, az-Zara’i, Fatwa ash-Shahabah, dan al-Istishhab. (Lihat Ahmad Zahro, 2007:130-134)
Akan tetapi itu saja tidak cukup, karena baik kaidah fiqh maupun ushul fiqh dalam batas tertentu akan tidak mampu memecahkan problem hukum kontemporer. Oleh karenanya agar metode itu compatible dengandunia modern, maka perlu ada pengembangan metodologi.
Sementara berijtihad secara manhajiy dengan pengertian di atas, masih mengambil dan mengikuti apa yang sudah dihasilkan oleh ulama mazhab, belum sampai pada pengembangan metodologi yang mesti menjadi kebutuhan dalam kontek memecahkan problem hukum kontemporer
Pengembangan metodologi dilatarbelakangi oleh kenyataan ketidakcukupan metode klasik memecahkan problem-problem kontemporer. Sementara metode-metode sain modern karena meninggalkan peran wahyu juga dirasa tidak cukup memberikan balasan kebutuhan muslim kontemporer.
Sementara berijtihad secara manhajiy dengan pengertian di atas, masih mengambil dan mengikuti apa yang sudah dihasilkan oleh ulama mazhab, belum sampai pada pengembangan metodologi yang mesti menjadi kebutuhan dalam kontek memecahkan problem hukum kontemporer
Pengembangan metodologi dilatarbelakangi oleh kenyataan ketidakcukupan metode klasik memecahkan problem-problem kontemporer. Sementara metode-metode sain modern karena meninggalkan peran wahyu juga dirasa tidak cukup memberikan balasan kebutuhan muslim kontemporer.
Pada titik inilah Qodri Azizi mencoba menawarkan sebuah gagasan untuk mengisi ruang kosong dalam hal pengembangan metodologi, yakni bermazhab dengan memakai pendekatan ijtihad saitifik-modern. Upaya rekonstruksi bangunan teori bermazhab secara manhajiyyang telah didefinisikan di atas, yang dikawinkan dengan motode-metode sain modern dengan mengambil elemen-elemen baik dari metode-metode Islam klasik maupun metode-metode Barat modern.
Sementara itu KH. Sahal Mahfudz juga memberikan gagasan baru dalam menggali hukum islam, Bagi KH. Sahal bermazhab secara metodologis (manhaji) merupakan sebuah keharusan, karena teks-teks fiqh dalam kitab kuning dipandang sudah tidak aplicableseiring dengan berubahnya ruang dan waktu (Sumanto, 1999: 116).
Pada tataran aplikasi KH. Sahal Mahfudh sepertinya sepakat dengan pendapat Maliki dan Hanbali dengan konsep al-Maslahah al-Mursalah dan asy-Syatibi dengann teori maqashid al-Syariah. Yang selalu memandang aspek mashlahah sebagai contoh syari’ah dalam beristinbathdengan tetap memperhatikan pendapat para shahabat, dan fuqoha awal.
Sementara itu KH. Sahal Mahfudz juga memberikan gagasan baru dalam menggali hukum islam, Bagi KH. Sahal bermazhab secara metodologis (manhaji) merupakan sebuah keharusan, karena teks-teks fiqh dalam kitab kuning dipandang sudah tidak aplicableseiring dengan berubahnya ruang dan waktu (Sumanto, 1999: 116).
Pada tataran aplikasi KH. Sahal Mahfudh sepertinya sepakat dengan pendapat Maliki dan Hanbali dengan konsep al-Maslahah al-Mursalah dan asy-Syatibi dengann teori maqashid al-Syariah. Yang selalu memandang aspek mashlahah sebagai contoh syari’ah dalam beristinbathdengan tetap memperhatikan pendapat para shahabat, dan fuqoha awal.
Cara ini ditempuh agar dalam proses penggalian hukum (istinbath) tidak terjerat ke dalam arus modernitas–liberal semata, beliau memberikan tawaran pemikiran “Fiqih Sosial” (Sumanto, 1999: 119-120).
Menurut Muhibbul Aman Ali, bahwa pada zaman sekarang tidak ada alasan untuk menolak taqlid kepada imam madzhab empat, karena tidak dimungkinkannya setiap manusia mengambil hukum-hukum agama langsung dari sumbernya. disebabkan tidak dapat terpenuhinya segala persyaratan ijtihad, seperti menguasai ilmu Al-Qur’an, Hadits, Sorof, Nahwu, Lughot, dan perbedaan-perbedaan pendapat ulama’ serta metode dalam mengambil hukum dari sumbernya (Muhibbul, 2007: 11).
Sebagaimana pembahasan diatas, maka mampu disimpulkan bebarapa hal, yaitu:
Menurut Muhibbul Aman Ali, bahwa pada zaman sekarang tidak ada alasan untuk menolak taqlid kepada imam madzhab empat, karena tidak dimungkinkannya setiap manusia mengambil hukum-hukum agama langsung dari sumbernya. disebabkan tidak dapat terpenuhinya segala persyaratan ijtihad, seperti menguasai ilmu Al-Qur’an, Hadits, Sorof, Nahwu, Lughot, dan perbedaan-perbedaan pendapat ulama’ serta metode dalam mengambil hukum dari sumbernya (Muhibbul, 2007: 11).
Sebagaimana pembahasan diatas, maka mampu disimpulkan bebarapa hal, yaitu:
- Bagi orang-orang yang tidak memenuhi syarat-syarat ijtihad seperti diatas maka wajib baginya untuk taqlid dengan pendapat Imam Madzhab.
- Menurut sebagian pendapat bahwa berpindah madzhab dalam masalah tertentu itu diperbolehkan.
- Metode penggalian hukum oleh para mujtahid dibagi menjadi tiga, yakni metode Qouli (tekstual), Metode Ilhaqi, dan Metode Manhaji.
- Dalam perkembangan zaman yang semakin modern, muncul berbagai pendapat wacana konsep gres dalam bermadzhab menyerupai yang digagas oleh Qodri Azizi tentang Santifik Modern dan konsep yang diajukan oleh KH. Sahal Mahfudz Tentang Fiqh Sosial.
DAFTAR PUSTAKA
- Aziz Masyhuri. 1997. Masalah Keagamaan NU. Surabaya: PP. RMI dan Dinamika Press
- Ahmad Zahro. 2004. Tradisi Intelektual NU: Lajnah Bahtsul Masa’il 1926-1999. Yogyakarta: LkiS
- Aceng Abd. Aziz, dkk. 2007. Islam Ahlu Sunnah Waljama’ah Indonesia. Cet.II. Jakarta: Pustaka Ma’arif NU
- Masyhudi muchtar,dkk. 2007. Aswaja An-Nahdliyah. Cet.I. Surabaya: Khalista
- Syarifuddin Yahya Al-Imrithi. Tt. Tashil At-Thuruqot. Kediri: Hidayatul Mubtadi’in Lirboyo
- Tholhah Hasan. 2007. Aswaja Dalam Persepsi Dan Tradisi NU. Cet.V. Jakarta: Lantabora Press
- Muhibbul Amali.dkk. 2007. Ajaran, Fatwa Dan Amaliyah aswaja. Cet.III. Pasuruan: PCNU Kab. Pasuruan
- Sumanto al-Qurtubi. 1999. KH. M.A. Sahal Mahfudh, Era Baru Fiqih Indonesia. Yogyakarta: Penerbit CERMI
- Qodri Azizi. 2003. Reformasi Bermazhab, Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad Saintifik Modern. Jakarta: Penerbit Teraju